Monthly Archives: October 2011

Suatu Pagi di Pulogadung, 2000

Suatu Pagi di Pulogadung, 2000

Langit masih kuntum
saat pelacur terbatuk
mengamatiku

Matanya sewarna tembok rumah ibu
kuning dengan tutulan jamur
hitam hijau pekat

– Minta rokok, Bang!
+ Silahkan

Kusodorkan sebungkus
dimintanya separo

– Ajak aku, Bang!
+ Aku tak suka main-main

Dihisapnya kuat mengepul asap
ke dadaku. Busuk napasnya

– Ini bukan main-main
+ Tidak. Aku tidak bisa

Langit masih kuntum
saat pelacur meludah
Tua sekali, kacau dan payah

– Tadi malam semua brengsek!
+ Kenapa?
– Dua laki lima ribu!

Langit masih kuntum
Pelacur tangannya memohon
Tapi aku harus pergi

– Ajak ya, Bang! Sepuluh ribu!
+ Maaf. Tidak

Langit masih kuntum
saat aku menggantung di pintu bus
menatap pelacur berlari kecil

– Tidak usah bayar, Bang!

Pelacur tersengal
jongkok dan mendongak ke langit
yang tak segera jadi bunga

Akhir Oktober 2011

Tuhan Mahatahu

Rasanya mustahil
bahwa Tuhan masih bekerja
sedang aku menjatuhkan pena
berulangkali malam ini

Akhir Oktober 2011

© Ciu Cahyono & Penerbit Larikata


Gudang dan Penjaga

Gudang dan Penjaga
– Ciu Cahyono –

Ketika seekor burung terbawa badai dan menghantam tembokmu, kau berseru: burung menyerangku!

Ketika selembar layang-layang putus dan melintasi atapmu, kau berseru: layang-layang mengintaiku!

Ketika seekor tupai tergelincir dan jatuh di balkonmu, kau berseru: tupai menghujatku!

Bahkan ketika tukang ledeng berdiri lusuh mengetuk pintumu, kau berseru: kupatahkan langkahmu!

– Oktober, 2011-

Perempuanku
– Ciu Cahyono –

I
Kau yang memintaku berpindah dari pohon satu ke pohon lainnya, genapkanlah loncatanku.

II
Kau yang tidak suka pistol akan kehilangan cara memperlakukan peluru. Yakini itu.

III
Kau yang akar tidak perlu bersembunyi dari apapun, lebih-lebih sembunyi di sebalik daun.

IV
Kau yang dulu menunjukkan letak garis itu, keluarkan aku dari markamu.

V
Kau yang hinggap di lengan kiriku, ajari aku melukis pohonan di jalan panjang dalam bola mataku.

VI
Kau yang menyematkan lencana di dada telanjangku, rebahkanlah maafku.

– Oktober, 2011 –

© Ciu Cahyono & Penerbit Larikata


Bukan Kisah Lagi – Nyanyian Loteng

Bukan Kisah Lagi

Kupunggungi hujan. Matamu lebih dalam dari yang kukira. Sedalam kopi pada cangkir di tanganku. Menahan sauhmu.

Tentu. Aku bukan dermaga lagi. Bagimu.

Kupunggungi hujan. Rambutmu lebih panjang dari yang kubayangkan. Sepanjang malam menuju subuh. Menampung bintangmu.

Tentu. Kamu bukan arah lagi. Bagiku.

– Oktober 2011 –

Nyanyian Loteng

Tak hanya memutus senar B kesukaannya. Ia pun memutus tali kutangnya. Burung-burung gereja membuka mata. Bersuka cita. Itulah dada sebenarnya. Tanpa pura-pura.

– Oktober 2011 –

Yina

Yina namaku
Tinggi satuenamtujuh
betis lengan tanpa bulu
ada garis luka di leherku
jerat tali ayah sendiri

Yina namaku
Sekarang agak kurusan
dadaku menggantung
jika kau merasa nyaman
janganlah tanggung

Yina namaku
Jangan sebut aku pelacur
nasibku tak malang
aku ini pedagang

Yina namaku
jangan sebut namamu
sebut saja maumu

– 2000 –

© Ciu Cahyono & Penerbit Larikata


Tamparan

Tamparan

– sajak pendek dini hari

Yang kautampar adalah daging
empatpuluh tiga kilogram kering

Tetapi hidup bukan lautan kata
lebih-lebih untai mutiara

Jika engkau hendak pahami hidup
jantungku sediakan kecup

– Oktober, 2011 –


Peluit – Lipatlah Kertasku

Itulah Aku

Aku lelaki yang tak boleh mengotori ranjang
dengan sepatu
Aku selalu menaruh, bahkan menyimpannya

Jika tutup botol bir itu terjatuh ke lantai
aku ingat tangis anakku
Jika mulut botol bir itu terantuk dinding gelas
aku ingat pesan isteriku

Ya
Aku selalu menaruh, bahkan menyimpannya

– September 2011 –

Tidak Beres

Saat aku mencari gelembung
engkau mencuri gelombang

– September 2011 –

Lipatlah Kertasku

Bilamana udara beku dalam kamarmu
lipatlah kertasku
Dan kursi kayu di pojok itu
biarkan ia menganga selalu

Lipatlah kertasku
masukkan aku dalam ceritamu
ikutkan aku dalam doamu

– Oktober 2011 –

Peluit

Suara rakyat adalah nyanyi pengamen
yang ditolak pintu berbandul batu
Suara rakyat adalah jeritan gagak
yang ditetak tugu bermahkota peluru

Kaki boleh berhenti dari lari
tapi angin arahnya terus mencari

– Oktober 2011 –

Bukan Apa-Apa

Ada apa dalam dada Papa
bandul kalung di sana
kini tanpa nama
Mama

Waktu adalah keramat
kenapa hidup sekedar siasat?

Ada apa dalam dada Mama
bandul kalung di sana
kini tanpa daya
Papa

– Oktober 2011 –

© Hak Cipta pada Ciu Cahyono & Penerbit Larikata

Selengkapnya silahkan ke Halaman Facebook: Sajak Balada Ciu Cahyono.